Rabu, 11 Januari 2017

Dunia (Lari) di Mata Matheos Berhitu

Perjalanan melintasi Tambora sejauh 320 KM lebih dari sekedar perjalanan mencapai lintasan finish. Perjalanan itu adalah jalan penaklukkan atas diri, mencoba berkompromi dengan tubuh dan pikiran. Kisah Matheos Berhitu (Theo) menjuari Tambora Chellenge 2016 adalah inspirasi, kisah keuletan, kerja keras, dan keteguhan hati.

Kisah Theo adalah sebuah keajaiban lainnya di mata saya, setelah ketangguhan Leceister City di Premier League tahun ini. Dari tidak ada menjadi ada. (Kalian mungkin mengira saya terlalu lebay menulis ini, tapi biarkanlah saya menikmati euforia ini barang sehari).

Sapare Aude! Diktum Emmanuel Kant tentang peneguhan eksistensi manusia diterjemahkan oleh Theo dalam berlari. Dia menerjemahkan konsep lari dengan caranya sendiri-merdeka sebagai manusia bebas- meruntuhkan semua pakem dalam lari Marathon, karena Theo menciptakan antitesisnya sendiri selama berlari di Tambora. Dia termasuk dari orang-orang 'tercerahkan'(Enlightenment) karena berjalan di atas; Tekad dan Keberanian.



Mungkin Matheo salah satu dari sedikit orang-orang di dunia yang diciptakan Tuhan hanya untuk berlari. Dia diciptakan sebagai 'pemberi pesan' bahwa berlari adalah sebuah kesenangan, kenikmatan dalam rasa sakit dan rasa persaudaraan.

"God Sees The Truth, But Waits," (Tuhan tahu, tapi Dia menunggu) yang dituliskan Leo Tolstoy yang mengisahkan sosok Aksenof dalam ketidakberdayaannya, kesedihan dan mimpinya perankan oleh Theo dalam bentuk utuh. Ketidakberdayaan karena keterbatasan dana untuk berlomba, kesedihan mendapatkan cibiran miring dari tetangga karena terus berlari.

Tetapi sebagai 'pemberi pesan', Theo tetap menjalankan ritual-ritual lari. Dia berlari 8 jam sehari atau minimal 100 Km per hari, (tidak) menjaga pola makan, dan (tidak) beristirahat yang cukup. Lupakanlah pemikiran kolot soal orang Timur yang kuat berlari. Tidak, Theo tetap menjalankan ritual seperti (tidak) biasanya sebelum berlomba.

"Saya ini hamba Tuhan dan saya percaya sama firman Tuhan. Itu kekuatan saya," kata Theo.

Dan ketika Theo berlari di Tambora bersama dukungan Run For Indonesia (RFI), dunia di mata Theo seperti berdendang dengan suara-suara yang indah. Suhu tertinggi mencapai 45 derajat dilahap Theo.

Bagi Theo, selain kecepatan, endurance adalah kunci kemenangan dirinya. Teori-teori tentang istirahat dan makan dalam berlari Marathon, dibongkar olehnya. Perang mental dikobarkan Theo saat mulai melepaskan kaki di garis start, melesat ke depan dan menengok sekali sambil melambai (mendadah) peserta di belakangnya.

"Saat saya lari di start, saya mengambil tanah Tambora dan yakin akan juara," ujarnya.

Saya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala (juga terenyuh) ketika Theo Berkata hanya membawa uang Rp 50 ribu selama berlari melintasi 320 Km di Tambora, menggunakan sepatu palsu hingga melakbannya berulang-ulang di tengah jalan, mengenakan kaos kaki wanita tipis dan bahkan meminjam sebuah jam tangan Garmin hanya untuk menanyakan jarak.

"Piala Tambora ini adalah milik keluarga besar RFI," kata Theo.



#tulisan ini pernah dipublikasikan di grup Facebook Run For Indonesia, 21 April 2016

0 komentar:

Posting Komentar